Demokrasi dalam Pandangan Islam
Assalamualaikum wr wb.
” Islam adalah Agama Demokrasi !!! ” Itulah kalimat yang seringkali terucap oleh sebagian kaum Muslimin tentang Hubungan Islam dan Demokrasi. Hmm… Benarkah bahwa Islam adalah agama demokrasi ?
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa musyawarah adalah substansi dari demokrasi. Bahkan, mereka mengatakan bahwa jauh sebelum demokrasi di lahirkan masyarakat barat, Islam terlebih dahulu menancapkan prinsip-prinsip kehidupan yang demokratis. Dengan menafikan pengertian karakter dari demokrasi itu sendiri, demokrasi dipahami secara sederhana sebagai proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang pemimpin. Menurut mereka adanya pemilu, meminta pendapat rakyat, menegakkan ketetapan mayoritas, multi partai politik, kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan adalah bagian kehidupan demokrasi yang substansinya sudah ada didalam kehidupan Islam. Padahal literatur-literatur yang membahas teori-teori politik dan demokrasi tidaklah memberikan pengertian yang sesederhana pemahaman di atas. Secara mendasar, teori demokrasi adalah pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat (as siyadatu lir ra’iyyah). Para pemimpin yang diangkat dalm sistem demokrasi terikat dengan kontrak sosial untuk melaksankan aspirasi rakyat. Adanya kritik, koreksi bahkan pemecatan pemimpin dalam sistem demokrasi semuanya terkait dengan aspirasi rakyat.
- Sistem Politik yang dianut islam berpegang teguh pada konsep Kedaulatan Tuhan. Artinya, segala hukum yang berlaku di negara tersebut harus sesuai dengan Hukum Tuhan atau Al-Qur’an dan As-sunnah. Berbeda dengan Demokrasi yang memegang konsep Kedaulatan Rakyat. Artinya, segala hukum yang berlaku di negara tersebut harus sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat. Inilah yang menyebabkan munculnya ideologi Sekulerisme.
- Dalam menentukan sebuah pilihan, Islam menjunjung tinggi proses Musyawarah. Sedangkan Demokrasi, keputusan mutlak seluruhnya pada suara mayoritas, maka dalam Islam tidak demikian. Keputusan yang membutuhkan ijtihad, strategi dan pemikiran mendalam diserahkan kepada para mujtahid dan para pakar yang bersangkutan, untuk dipilih pendapat yang terkuat dan paling mendekati kebenaran. Pada kasus Perang Badar, misalnya, Rasulullah saw. hanya mengambil pendapat Khubab ibn Mundzir ra. dan tidak meminta pendapat dari seluruh anggota legiun Perang Badar. Sementara itu, perkara yang bersifat teknis, seperti pemilihan kepala negara atau ketua organisasi, diserahkan kepada suara mayoritas. Sehingga analogi musyawarah sebagai substansi demokrasi adalah bathil pula adanya.
Jadi inilah kebebasan agama demokrasi:
Melepaskan diri dari agama Allah, syari’at-Nya, dan melanggar batasan-batasannya. Adapun hukum undang-undang bumi dan aturannya maka itu selalu dijaga, dijunjung tinggi dan disucikan (disakralkan) serta dilindungi dalam agama demokrasi mereka yang busuk, bahkan orang yang berusaha melanggarnya, menentangnya, atau menggugurkannya dia akan merasakan sangsinya…
Tinggalkan komentar